Senin, 25 Mei 2015

Pada Pembotakan Terakhir
    Sudah lama peristiwa ini berlalu. Tapi apalah arti waktu. Waktu hanya satu ukuran yang tak mampu memisahkan ingatan dan kenangan yang pernah terjadi. Dan dalam waktu yang berlalu, semua cerita yang terjadi dalam jaraknya banyak yang tumbuh dan hidup sepanjang masa, meski antara pelakunya tiada lagi kini. Dan kisah ini sungguh kisah celaka, yang menakutkan anak-anak dan ibu-ibu. Takut kalau sianak ditinggalkan mati oleh ibunya. Takut akan peristiwa ketirian yang menonjolkan fantasi kekejaman yang jarang ada, tapi pernah ada.
    Ibu selalu suka membotaki kepalaku licin-licin. Semenjak aku masih bayi, setiap umurku bertambah satu tahun, aku mendapat hadiah kepala botak. Pembotakan pertama kali merupakan perayaan tergemilang dalam segala perayaan yang diuntukkan bagiku. Hampir seluruh kenalan ibu dan ayah dikota kami ikut berdatangan.
    Tapi dikala pembotakan terakhirku, yaitu di kala usiaku menjadi tujuh tahun, sengaja tidak dirayakan. Kami baru saja dapat kemalangan. Nenekku, promotor segala upacara, telah dikuburkan orang lima belas hari sebelumnya. Hanya tiga orang saja yang hadir dalam pembotakanku itu, yakni aku, kakek montok si tukang cukur , dan Maria.
    Belakang rumah Maria di belakang rumahku. Dan sebuah selokan besar, tempat segala sampah dilempar dan dihanyutkan air bila hujan lebat, membatasi halaman rumah kami. Dengan Maria jarang aku bergaul , walaupun dia tiga kali sehari datang kerumahku. Yaitu kalau ia menjajakan kue
    Kami ada juga bercakap cakap. Itu pun kalau aku sedang bermain di tepi selokan dan Maria sedang buang sampah. Tapi seperti biasanya pula, sesudah terjadi pertemuan kami ditepi selokan itu, kedengaranlah pekik dan raungan Maria sepilu hati meminta ampun. Suaranya menyayat-nyayat diantara suara makian Mak Pasah, eteknya. Kalau Ibu tahu, setelah bercakap-cakap denganku Maria memekik-mekik dipukuli etek-nya, Ibu lalu memanggilku dan memarahiku.
    Dari rumah kami selalu saja, bahkan hampir setiap hari, bisa diperdengarkan pekikan Maria. Tahu makian Mak Pasah yang tak alang-kepalang seramnya. Kecut aku mendengarnya. Tapi aku merasa pilu mendengar pekikan Maria minta ampun.
    Kehidupan Mak Pasah membuat kue. Maria disuruh menjualnya disepanjang jalan. Pagi penekuk, siang bubur delima, dan sore limping. Kue Maria selalu laku. Orang suka membelinya. Tak perlu ia meneriakannya. Dia datang saja kerumah orang, tentu orang akan membelinya, meski hanya satu. Ibu selalu membelikanku.
    Sekali Ibu tak dirumah. Aku ditinggalkan Ibu sebuah rempis pembeli kue Maria. Tapi rempis ditanganku, kubelikan gula tare. Dan ketika Maria datang, aku tak punya uang lagi. Tapi Maria memberikanku sebuah lemping. Nanti kalau Ibu pulang akan diminta uangnya.
    Aku berlari ke tumah Mak Pasah dengan remis ditanganku erat kugenggam. Tapi... tapi... ketika aku sampai di ambang pintu dapur Mak Pasah, aku tak berani masuk. Bahkan aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku juga ikut terpekik dan berlari lagi pulang kerumah. Kuceritakan pada Ibu apa yang kulihat didapur Mak Pasah. Ibu tak berkata apa-apa. Dia raih aku ke dadanya. Dan diusapnya kepalaku.
    Peristiwa itu terjadi sehari sebelum pembotakanku terakhir. Dan malamnya aku bermimpi Maria. Adegannya Maria sesenja tadi berulang lagi dalam minpiku. Tapi yang memukuli bukan lagi Mak Pasah. Tapi hantu-hantu yang bermata api, bergigi panjang, berkuku tajam. Maria dupukuli lebih kejam. Dan  hantu itu sangat banyak
    Semalam-malaman rasanya aku tak tidur. Karna aku takut tidur.
    Kakek montok, si tukang cukur , telah mulai bekerja. Kepalaku mulai kehilangan rambutnya. Aku meraba-raba kepala botak hadiah ulang tahunku. Lalu aku berkaca. Geli juga hatiku melihat sikepala botak dalam kaca itu. Aku tertawa terbahak-bahak. Lalu berdiri dan menari-nari sambil terus berkaca. Kemudian aku melompat-lompat kegirangan. Tiba tiba berderai jatuh ketanah. Dalam kegirangan aku menyentuh Maria, hingga jualannya yang dijunjungnya tumpah ke tanah. Ibu datang. Ibu membujuk Maria. Ibu menyuruh Maria pulang dulu dan mengatakan pada Mak Pasah, bahwa Ibu akan menggantikannya bila ayahku pulang. Tapi Maria tidak mau pulang. Setelah lama dibujuk dan didesak Ibu, bahkan Kakek pun ikut membujuk, barulah Maria mau pulang.
    Ketika Ayah sudah kembali, barulah Ibu dapat mengantarkan uang ganti kerugian Mak Pasah. Aku dibawa Ibu ikut. Di waktu kami telah sampai di ambang pintu dapur Mak Pasah, ia tidak di sana. Maria juga tidak ada. Tapi di lantai... dilantai... dapur itu kulihat banyak air tergenang. Aku jadi curiga. Lama baru Mak Pasah datang, setelah dipanggil panggil Ibu. Gembira benar perempuan itu tampaknya.
    Esok harinya, pagi-pagi benar, aku dibawa Ayah kerumah Pak Cik di kota kelahiran Ayah.
    Setelah dua minggu aki di rumah Pak Cik, datanglah Ibu menjemputku. Aku ingat lagi pada Maria. Aku ingin tahu apa yang telah terjadi. Tapi air muka ibu tak bicara apa-apa.
    Tapi semenjak itu aku tak pernah lagi mendapat jajan tiga kali sehari. Ibu hanya membelikanku kue Si Inah setiap pagi. Aku tak pernah bertanya mengapa keadaan sudah berubah sekarang. Karna aku sudah tahu bahwa Maria sudah tak ada lagi. Ia sudah mati. Tapi ibu tak pernah lagi membelinya. Orang-orang di kampungku juga tidak lagi. Kinilah aku baru tahu, bahwa kue Mak Pasah tidak enak rasanya. Kalau orang mau membelinya dulu, karna orang kasihan pada Maria. Sebab semua orang tahu, kalau Maria tak menjual habis jualannya, dia akan dipukuli setengah mati.
    Maka dalam hatiku timbul keyakinan, bahwa kematian Maria yang tiba-tiba itu pastilah oleh siksaan Mak Pasah,eteknya itu.
    Kejadian itu sudah dua puluh lima tahun berlalu. Ibuku sudah lama meninggal. Tapi Mak Pasah masih hidup. Dia sudah lama tidak berjualan kue lagi. Setelah gagal menjadi penjual kue, ia beralih berdagang emas. Dan kini ia sudah kaya dan bersuami muda