Pada Pembotakan Terakhir
Sudah lama peristiwa ini berlalu. Tapi apalah arti waktu.
Waktu hanya satu ukuran yang tak mampu memisahkan ingatan dan kenangan yang
pernah terjadi. Dan dalam waktu yang berlalu, semua cerita yang terjadi dalam
jaraknya banyak yang tumbuh dan hidup sepanjang masa, meski antara pelakunya
tiada lagi kini. Dan kisah ini sungguh kisah celaka, yang menakutkan anak-anak
dan ibu-ibu. Takut kalau sianak ditinggalkan mati oleh ibunya. Takut akan
peristiwa ketirian yang menonjolkan fantasi kekejaman yang jarang ada, tapi
pernah ada.
Ibu selalu suka membotaki kepalaku
licin-licin. Semenjak aku masih bayi, setiap umurku bertambah satu tahun, aku
mendapat hadiah kepala botak. Pembotakan pertama kali merupakan perayaan
tergemilang dalam segala perayaan yang diuntukkan bagiku. Hampir seluruh
kenalan ibu dan ayah dikota kami ikut berdatangan.
Tapi dikala pembotakan terakhirku, yaitu di
kala usiaku menjadi tujuh tahun, sengaja tidak dirayakan. Kami baru saja dapat
kemalangan. Nenekku, promotor segala upacara, telah dikuburkan orang lima belas
hari sebelumnya. Hanya tiga orang saja yang hadir dalam pembotakanku itu, yakni
aku, kakek montok si tukang cukur , dan Maria.
Belakang rumah Maria di belakang rumahku.
Dan sebuah selokan besar, tempat segala sampah dilempar dan dihanyutkan air
bila hujan lebat, membatasi halaman rumah kami. Dengan Maria jarang aku bergaul
, walaupun dia tiga kali sehari datang kerumahku. Yaitu kalau ia menjajakan kue
Kami ada juga bercakap cakap. Itu pun kalau
aku sedang bermain di tepi selokan dan Maria sedang buang sampah. Tapi seperti
biasanya pula, sesudah terjadi pertemuan kami ditepi selokan itu, kedengaranlah
pekik dan raungan Maria sepilu hati meminta ampun. Suaranya menyayat-nyayat
diantara suara makian Mak Pasah, eteknya. Kalau Ibu tahu, setelah
bercakap-cakap denganku Maria memekik-mekik dipukuli etek-nya, Ibu lalu
memanggilku dan memarahiku.
Dari rumah kami selalu saja, bahkan hampir
setiap hari, bisa diperdengarkan pekikan Maria. Tahu makian Mak Pasah yang tak
alang-kepalang seramnya. Kecut aku mendengarnya. Tapi aku merasa pilu mendengar
pekikan Maria minta ampun.
Kehidupan Mak Pasah membuat kue. Maria
disuruh menjualnya disepanjang jalan. Pagi penekuk, siang bubur delima, dan
sore limping. Kue Maria selalu laku. Orang suka membelinya. Tak perlu ia
meneriakannya. Dia datang saja kerumah orang, tentu orang akan membelinya,
meski hanya satu. Ibu selalu membelikanku.
Sekali Ibu tak dirumah. Aku ditinggalkan
Ibu sebuah rempis pembeli kue Maria. Tapi rempis ditanganku, kubelikan gula
tare. Dan ketika Maria datang, aku tak punya uang lagi. Tapi Maria memberikanku
sebuah lemping. Nanti kalau Ibu pulang akan diminta uangnya.
Aku berlari ke tumah Mak Pasah dengan remis
ditanganku erat kugenggam. Tapi... tapi... ketika aku sampai di ambang pintu
dapur Mak Pasah, aku tak berani masuk. Bahkan aku tidak bisa berkata apa-apa.
Aku juga ikut terpekik dan berlari lagi pulang kerumah. Kuceritakan pada Ibu
apa yang kulihat didapur Mak Pasah. Ibu tak berkata apa-apa. Dia raih aku ke
dadanya. Dan diusapnya kepalaku.
Peristiwa itu terjadi sehari sebelum
pembotakanku terakhir. Dan malamnya aku bermimpi Maria. Adegannya Maria sesenja
tadi berulang lagi dalam minpiku. Tapi yang memukuli bukan lagi Mak Pasah. Tapi
hantu-hantu yang bermata api, bergigi panjang, berkuku tajam. Maria dupukuli
lebih kejam. Dan hantu itu sangat banyak
Semalam-malaman rasanya aku tak tidur.
Karna aku takut tidur.
Kakek montok, si tukang cukur , telah mulai
bekerja. Kepalaku mulai kehilangan rambutnya. Aku meraba-raba kepala botak
hadiah ulang tahunku. Lalu aku berkaca. Geli juga hatiku melihat sikepala botak
dalam kaca itu. Aku tertawa terbahak-bahak. Lalu berdiri dan menari-nari sambil
terus berkaca. Kemudian aku melompat-lompat kegirangan. Tiba tiba berderai
jatuh ketanah. Dalam kegirangan aku menyentuh Maria, hingga jualannya yang
dijunjungnya tumpah ke tanah. Ibu datang. Ibu membujuk Maria. Ibu menyuruh
Maria pulang dulu dan mengatakan pada Mak Pasah, bahwa Ibu akan menggantikannya
bila ayahku pulang. Tapi Maria tidak mau pulang. Setelah lama dibujuk dan
didesak Ibu, bahkan Kakek pun ikut membujuk, barulah Maria mau pulang.
Ketika Ayah sudah kembali, barulah Ibu
dapat mengantarkan uang ganti kerugian Mak Pasah. Aku dibawa Ibu ikut. Di waktu
kami telah sampai di ambang pintu dapur Mak Pasah, ia tidak di sana. Maria juga
tidak ada. Tapi di lantai... dilantai... dapur itu kulihat banyak air
tergenang. Aku jadi curiga. Lama baru Mak Pasah datang, setelah dipanggil panggil
Ibu. Gembira benar perempuan itu tampaknya.
Esok harinya, pagi-pagi benar, aku dibawa
Ayah kerumah Pak Cik di kota kelahiran Ayah.
Setelah dua minggu aki di rumah Pak Cik,
datanglah Ibu menjemputku. Aku ingat lagi pada Maria. Aku ingin tahu apa yang
telah terjadi. Tapi air muka ibu tak bicara apa-apa.
Tapi semenjak itu aku tak pernah lagi
mendapat jajan tiga kali sehari. Ibu hanya membelikanku kue Si Inah setiap
pagi. Aku tak pernah bertanya mengapa keadaan sudah berubah sekarang. Karna aku
sudah tahu bahwa Maria sudah tak ada lagi. Ia sudah mati. Tapi ibu tak pernah
lagi membelinya. Orang-orang di kampungku juga tidak lagi. Kinilah aku baru
tahu, bahwa kue Mak Pasah tidak enak rasanya. Kalau orang mau membelinya dulu,
karna orang kasihan pada Maria. Sebab semua orang tahu, kalau Maria tak menjual
habis jualannya, dia akan dipukuli setengah mati.
Maka dalam hatiku timbul keyakinan, bahwa
kematian Maria yang tiba-tiba itu pastilah oleh siksaan Mak Pasah,eteknya itu.
Kejadian itu sudah dua puluh lima tahun
berlalu. Ibuku sudah lama meninggal. Tapi Mak Pasah masih hidup. Dia sudah lama
tidak berjualan kue lagi. Setelah gagal menjadi penjual kue, ia beralih
berdagang emas. Dan kini ia sudah kaya dan bersuami muda